Artinya bahwa orang sangat antusias saat acara peringatan Maulid Nabi karena banyak makanan dibagikan. Pun begitu saya. Saat kecil, saya memang tinggal di pondok. Orang tua jauh di Bandung. Saya dititipkan di kakek nenek tapi untuk tidur dan semua peralatan hidup harus di kobong. Hanya makan di rumah. Nyuci, tidur, sekolah mesti sendiri. Ayah memberi satu dipan kecil serta kasurnya setelah tahu bahwa bertahun-tahun saya tidur di atas ranjang terbuat dari bambu dengan tikar andong di atasnya. Saat itu lumayan keren karena kebanyakan, banyak santri tidur di lantai dengan tikar sebagai alasnya. Karpet itu barang mahal sekali.
Itu gambaran sebegitu sederhana hidup di pesantren pedalaman itu. Saat sendiri, kenikmatan paling yahud adalah saat beli Supermie dibubukan lalu bumbunya dicampur. Dimakan sambil tiduran. Atau, makan es krim dalam gelas saat menunggu sekolah agama masuk. Duh kebayang yummy-nya. Dunia serasa punya sendiri. Apalagi kalau Maulid, jika di masjid sudah membaca Surat Arrahman: Fabiayya ila robbikuma tukaddiban, pasti pembagian nasi pincuk segera dilakukan. Kami langsung berebut masuk untuk mendapatkan nasi yang dibungkus daun pisang.
Sebelum masuk, kita harus pintar dulu untuk dapat nasi “unggulan”. Maklum, saat itu setiap keluarga bawa nasi dengan lauk beragam dalam baskom. Tak pernah ada ayam, paling ideal goreng telor yang diiris tipis. Banyaknya tempe atau tahu atau sayuran. Kita harus menandai daun mana yang keluar dari keluarga yang berada. Pasti lauknya istimewa. Biasanya nasi itu dikumpulkan dan bungkus daunnya pasti beda. Nah saat nasi itu dibagikan, kita mesti milih bungkus mana yang harus kita terima. Jika menerima target kita, deuh begitu bahagianya kita. Muludan itu bak rumah makan spesial tahunan.