Sebagai anak PNS, saya merasa dulu punya privilege dalam kesehatan. Saya adalah anak ketiga yang berhak dapat asuransi kesehatan (askes). Warna kartunya kuning dan kalau ke rumah sakit pasti pelayanannya kelas dua. Seingat saya, askes tadi hanya saya gunakan dua kali. Kalau bayarnya tiap bulan, motong dari gaji ayah. Dipakai apa enggak, ya resiko namanya juga asuransi. Makanya, jika peserta suransi kesehatannya masih muda pasti perusahaan menang banyak. Muda itu jarang sakit, polish tetap jalan. Menang banyak, kan?
Nah sekarang askes berubah jadi BPJS Kesehatan. Katanya gaji pimpinan BPJS selangit melebihi gaji presiden. Logis, sih. Karena bersembunyi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Perusahaan ini punya privilege untuk menarik wajib setiap warga negara dalam rereongan kesehatan nasional. Bahkan jika belum jadi peserta BPJS suka dipersulit dalam mendapatkan dokumen negara. Jadi, JKN ini benar-benar konstitusional dan mengikat. Pantas gajinya selangit karena jumlah yang sakit biasanya lebih sedikit dibanding jumlah yang bayar.
Tentang membayar, saya dapat cerita menyakitkan. Putra adik saya sakit di rawat di RS. BPJS menunggak satu tahun, maklum yang cover yayasan madrasah yang tak ada anggaran untuk itu. Biaya bisa dicover jika membayar dulu tunggakan sebesar 12 Juta untuk seluruh anggota 4 orang dan denda sebanyak 1 juta. Akhirnya, dibayar karena mau tak mau, suka tak suka tunggakan itu terus diakumulasi sampai meninggal. Wajib bayar. Jadi tak ada opsi, kecuali mati atau madrasah digulung tikarkan. Satu sisi membantu di sisi lain mencekik. Jangan-jangan sakit kita itu bukan hanya oleh penyakit tapi tercekik sistem itu.