Kaum santri identik dengan kopiah. Biasanya pakai songkok karena terlihat nasonalis juga merakyat. Kopiah berwarna putih terkesan “angkuh” karena hajinya atau elitis karena beda dengan hitamnya songkok. Walau tak bisa dipukul rata. Tergantung sudut pandang dan bagaimana orang memahami alasannya. Seperti alasan saya memakai kopiah putih, ya karena simpel, gampang, ringan dan banyak cadangan. Songkok berat dan jika saya berpikir terasa cepat panas. AC-nya terbatas. Lagian, kopiah putih saya tergelatak di banyak tempat di rumah. Alasan utamanya juga sih ingin membahagiakan istri. Katanya: “Kalau pakai kopiah hitam, abi terlihat tua!” Ya, sudah.
Saya punya cerita tentang kopiah. Walau hidup saya sering tinggal di pesantren, kopiah bukan gaya berpakaian saya dulu. Mungkin saya orang sekolahan. Terasa sangat berat berkopiah. Bahkan saat ngaji takhasus sekalipun. Pernah memaksa pakai songkok saat dari rumah ke pesantren. Jalan kaki jauh sekitar 2 KM, kemudian naik angkot dan dari angkot jalan kaki kembali sekitar 500 M. Sepanjang jalan hati saya tak menentu, dag dig dug. Seolah ada yang salah dalam berpakaian.
Perasaan setiap orang yang berpapasan melihat dan menertawakan saya. Saya menunduk dan mencoba mengendalikan hati. Namun tetap tak terkendali, ada rasa malu yang sangat. Serasa pakai kopiah itu hal yang tak wajar dan ringkih. Saya merasa tak pantas karena berkopiah sama dengan banyak ilmu, pribadi unggul, prilaku terjaga dan pasti orang terhormat hingga setelahnya tak pernah saya pakai untuk keseharian lagi. Hanya acara formal saja. Nah, itu beda dengan setelah menikah. Kebalikan. Bahkan saat keluar rumah atau bertemu orang, saya merasa bersalah jika tak berkopiah. Aneh juga saya ini. Kok bisa, ya?