Sebagian kecil dari refleksi fabel ini, pernah dijadikan status facebook. Penulisannya bukan tanpa alasan atau, meminjam istilah generasi milenial, bukan aktivitas gabut. Sebelumnya, penulis diminta beberapa kawan mahasiswa untuk menginisiasi kelahiran sekolah filsafat, kajian filsafat, ngaji filsafat, atau istilah lainnya yang identik. Karena terkendala oleh banyak hal, ide tersebut tidak sempat terwujud. Untuk memenuhi kerinduan para pembelajar filsafat dan karena beberapa kawan menyarankan supaya refleksi tersebut sebaiknya dibukukan, penulisannya dilanjutkan dalam sebuah naskah fabel.
Materi dari fabel ini adalah replikasi dari kenyataan empiris yang ditemui penulis dalam kehidupan sehari-hari. Sifatnya sederhana dan diusahakan disajikan serenyah mungkin, lalu diarahkan pada analisis serta refleksi filosofis yang relevan. Sekalipun tampak seperti kritik, penulis sebenarnya sedang melakukan refleksi diri. Dengan kalimat lain, jika kata kritik harus tetap digunakan, maka maksudnya adalah kritik terhadap diri sendiri. Esensi dari sebuah fabel tentunya keberadaan hikmah yang terkandung di balik kisah yang dibangun. Namun demikian, penulis tidak merasa telah melahirkan narasi berbasis hikmah. Untuk yang terakhir ini, biarlah pembaca yang menilainya.
Ulasan
Belum ada ulasan.