Saya punya kisah konyol tentang “sempak” atau celana dalam (CD). Dulu, ayah pingin saya jadi tentara. Maklum, ABRI saat itu punya posisi strategis di republik ini. Dwifungsi mungkin membuat ayah berpandangan bahwa jadi tentara adalah pilihan terbaik untuk anaknya. Lantas, sebagai anak berbakti sekaligus santri yang taat terhadap kitab kuning, saya mendaftar. Sebenarnya saya tak berkenan karena memang bukan passion saya.
Sebagai persiapan, saya melakukan latihan. Setiap jumat siang saya berlari dan berusaha meningkatkan berat badan. Saat itu, badan saya cungkring 40 kg. Kalau tinggi sudah cukup tapi badan saya sangat kurus dan cenderung kurang gizi. Itu pula yang buat saya tak pede. Saat test di Garut, calon Taruna itu mesti ditest macam-macam. Test awal adalah membuka baju dan celana. Huf! Saya kaget sekaligus down.
Alasannya, saya pergi dari pondok. Rusuh pas berangkat saya kehilangan sempak saya. Akhirnya saya ambil sempak teman yang entah tahu punya siapa. Di pondok “ulima ridhouhu” jadi patokan untuk tidak disebut ghasab, sempak sekalipun. Sering kami tukeran dari sandal hingga barang privat sekalipun. Sayangnya, sempak itu bolong belakangnya. Saking sudah lama dan sering dipake sepertinya. Warnanya cokelat dengan merk Sonny dan bentuknya yang khas. Merk yang umum untuk sempak tahun 90an dan pastinya ada saku dekat posisi tititnya. Saya merasa tak apa, toh sempak di dalam dan tak pernah nongol di luar. Bolong apapun takan ada yang tahu.
Anda akan tertawa jika melihat seorang cungkring tak berbaju tak bercelana dan hanya bersempak. Bolong pula. Mungkin tertawanya akan LoL. Itu pula yang terjadi saat itu. Saya merasakan aura pendaftar lain yang menahan tawa sambil mengernyitkan alisnya melihat my ash. Duh bolongnya gede juga. Hingga saya jadi gak konsen mengikuti test dan akhirnya saya gagalkan testnya. Saya juga gak ngerti hingga kini, kenapa mesti copot celana. Apakah se tak manusiawi itukah test calon perwira tentara waktu itu? Se-tak manusiawi teman saya yang merawat sempak berbolong besar itu?