Entahlah, stigma ini kadung melekat. Sate, ya Madura. Dodol, ya Garut. Moci, ya Sukabumi. Tauco, ya Cianjur. Tapi, taukah marebot dan aktivis masjid itu selalu mayoritas berasal kalau tak Madura ya Tasik. Maklum, orang Madura itu tradisi Islamnya kental orang Tasik itu pasti bersentuhan dengan dunia pesantren. Madura dan Tasik itu orangnya senang ngurusi masjid walau orang Madura ada stigma negatifnya. Kalau jembatan runtuh biasanya mur atau bautnya dicolong orang Madura karena mereka spesialis besi rongsokan. Seandainya ada bangunan beton orang Madura suka bisa prediksi berapa banyak besi yang bisa dikilo.
Terkait sate, bagi saya ini makanan sultan. Sejak saya nyantri rasanya gak pernah makan sate. Paling barter saat idul adha, itu pun sate gadungan. Dagingnya gede, tidak matang dan tak ada bumbunya. Idul Adha bagi saya dulu adalah pesta tapi tak benar-benar pesta karena daging itu nikmat karena bumbunya. Jadi sama saja: tak nikmat. Saya sempat berimajinasi jika sudah besar ingin menikmati sate sebanyak-banyaknya. Eh saat gede ternyata gak bisa karena kolesterol. Suka ingin balas dendam karena makanan besar dulu itu sembelih ayam terus dagingnya kecil-kecil tapi yang nikmat itu bumbu kuningnya. Yummy. Suka ingin banget sate itu sebumbu ayam. Tapi gak pernah.
Demi nyate, waktu kecil di pesantren saya sangat bahagia jika ada yang qurban. Seringnya satu ekor domba. Sekampung suka berkumpul ngagugulung daging domba saat disembelih. Kadang banyak para pemuda suka nyumputin dan nyuri daging itu, hingga panitia suka bingung. Maklum daging sedikit gaganting harus seluruh masyarakat. Akhirnya tulang belulang suka jadi pemberat. Setelah dhuhur rerata masyarakat mencium aroma sate. Setiap rumah pasti nyate. Alasannya sate jadi indikator makanan sultan. Sate habis baru masakan sayur tulang belulang yang jadi menu makan satu minggu lamanya.